Banyuwangi, JejakIndonesia.id – Pesta pemilihan “Raja” atau “Ratu” di jagat negeri dongeng Pasukan Jembuk-Jembuk akhirnya mencapai akhir. Sosok pemenang telah muncul, yakni sang Ratu dengan senyum khasnya yang ramah dan menawan hati rakyat.
Namun, di balik gemerlap perayaan, kisah menarik datang dari arena pemilihan. Para pendekar—yang mengklaim diri sebagai ahli strategi dan jago dalam “perang lidah”—memainkan peran penting dalam dinamika kerajaan. Perang ini bukan tentang senjata, melainkan adu argumentasi yang disaksikan dan didukung oleh para patih sang Ratu.
Alih-alih memperkuat keamanan sang Ratu, para patih dan senopati justru sibuk melobi para pendekar yang dianggap mengancam stabilitas kerajaan. “Selesaikan,” menjadi mantra mereka, diiringi tawaran kepingan emas dan berlian sebagai bentuk kompromi. Perundingan pun berlangsung sengit, dengan kedua pihak berusaha memperoleh keuntungan maksimal—punggawa kerajaan mengincar restu sang Ratu, sementara para pendekar menginginkan lebih banyak harta sebagai balasan.
Sayangnya, kelemahan senopati dan beberapa punggawa menjadi sorotan. Mereka mudah terintimidasi oleh ancaman “lapor” yang kerap menggema, sembari sibuk mencari kambing hitam atas kegagalan mereka. Ironisnya, tudingan korupsi yang mereka lemparkan kerap kali mengarah balik pada diri mereka sendiri.
Dalam situasi ini, sang Ratu perlu bersikap bijak. Propaganda dan permainan politik di sekitarnya bisa menjadi ancaman nyata. Jika terlalu percaya pada patih yang menggunakan taktik “selesaikan,” bukan tidak mungkin sang Ratu justru akan terkena panah busur dari musuh yang tak terlihat.
Tulisan ini murni fiksi. Jika ada kesamaan cerita atau tokoh, penulis mohon maaf.
Sumber: Veri Kurniawan S.St., S.H. (Penulis Fiksi Juragan Angkot). (AO)