Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC.
(AKADEMISI & AKTIVIS)
Banyuwangi – Jejakindonesia.id | Warga Perumahan Griya Permata Husada (GPH) Kelurahan Pengantigan, Banyuwangi, kembali menjadi korban atas kegagalan proyek infrastruktur yang didanai negara. Setelah seminggu lalu melakukan kerja bakti dan iuran mandiri untuk memperbaiki paving yang anjlok, hari ini warga menemukan kerusakan baru pada titik yang sama. Penyebabnya bukan semata tekanan beban, melainkan kegagalan konstruksi plengsengan tahun 2022 yang dibangun di atas pondasi tanah liat tanpa perkuatan teknis yang memadai. Air rembesan dari struktur yang tidak tahan terhadap infiltrasi menjadi penyebab utama paving terus mengalami pergeseran dan ambles.
Kasus ini memperlihatkan betapa buruknya tata kelola proyek publik di tingkat daerah. Plengsengan yang seharusnya menjadi struktur penahan air dan tanah justru menjadi sumber kerusakan lanjutan. Fakta bahwa struktur tersebut hanya didasari tanah liat tanpa pengerasan teknis menandakan ada kompromi terhadap kualitas. Pertanyaannya: bagaimana proyek seperti ini bisa lolos dari tahap perencanaan, pengawasan, hingga serah terima pekerjaan? Semua proses ini mestinya melibatkan Dinas Pekerjaan Umum dan konsultan pengawas. Jika kerusakan muncul hanya dua tahun setelah pembangunan, maka besar kemungkinan praktik mark-up, pengurangan volume, atau bahkan manipulasi material terjadi secara sistematis.
Masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat kini justru menjadi penanggung beban kerugian. Ironisnya, warga sendiri harus urunan dana dan tenaga untuk menambal kesalahan proyek negara. Ini bukan lagi sekadar persoalan teknis, tetapi cermin dari kegagalan sistemik dalam pengawasan dan akuntabilitas publik. Kecurigaan publik bahwa proyek ini sarat dengan korupsi bukan tanpa dasar. Sebab, apabila tidak ada penyimpangan, mengapa hasilnya begitu cepat rusak dan membahayakan lingkungan tempat tinggal warga?
Dalam konteks tanggung jawab, setidaknya ada tiga pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban. Pertama, rekanan atau kontraktor pelaksana yang dengan sengaja atau lalai melakukan pekerjaan di luar standar teknis. Kedua, Dinas PUPR Banyuwangi sebagai penanggung jawab teknis sekaligus otoritas pengawasan internal. Ketiga, aparat pengawasan eksternal, termasuk inspektorat daerah dan legislatif yang gagal mengendus potensi pelanggaran sejak dini. Apabila dugaan korupsi ini benar, maka ada unsur pidana yang patut ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Tragedi amblesnya paving di GPH ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari mata rantai praktik buruk tata kelola anggaran infrastruktur yang kerap luput dari sorotan publik. Kasus ini perlu menjadi alarm keras bagi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk menghentikan pola proyek asal jadi yang hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi menyengsarakan rakyat di ujungnya. Transparansi, audit publik, dan investigasi independen harus segera dilakukan sebelum kegagalan-kegagalan lain memakan korban lebih besar.
Red.