BANYUWANGI | jejakindonesia.id – Proyek pembangunan plengsengan di kawasan Perumahan Griya Permata Husada (GPH), Kelurahan Pengantigan, Banyuwangi, yang dikerjakan Dinas Pengairan Kabupaten Banyuwangi tahun 2022, kini memicu kegaduhan. Warga menemukan bahwa pondasi plengsengan yang seharusnya dibangun untuk mencegah longsor dan erosi justru dibuat dari tanah liat, bukan material konstruksi sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB). Akibatnya, konstruksi mudah rusak dan mengancam keselamatan warga sekitar.
“Ini bukan sekadar keteledoran teknis. Ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat dan tanggung jawab publik. Negara telah gagal melindungi warganya dari proyek abal-abal yang mengancam keselamatan,” tegas Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC, akademisi dan aktivis Banyuwangi, Rabu (11/6/2025).
Warga pun akhirnya harus memperbaiki plengsengan secara swadaya, menyambung proyek pemerintah yang terbengkalai. “Uang rakyat dipakai, proyeknya amburadul, warganya disuruh gotong royong. Di mana negara?” tanya Herman dalam nada geram.
Analisis hukum, pelaksana proyek dari pihak CV yang tidak mengerjakan konstruksi sesuai spesifikasi dan RAB terancam jeratan hukum serius, antara lain:
UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 91, mewajibkan pelaksanaan sesuai kontrak. Pelanggaran bisa dikenakan sanksi administratif, perdata, hingga pidana.
UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001):
Pelaksana proyek dan pejabat terkait bisa dijerat dengan pasal korupsi bila terbukti merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara.
KUHP Pasal 263 tentang pemalsuan dokumen, jika ditemukan manipulasi laporan teknis atau pertanggungjawaban proyek.
“Memberikan proyek kepada CV yang tidak punya kompetensi sama saja dengan menyerahkan nyawa masyarakat ke tangan spekulan,” tegas Herman.
Herman mendesak Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk segera mengambil langkah tegas. “Jika dalam waktu dekat Pemda tidak melakukan evaluasi terbuka, audit menyeluruh, serta penindakan terhadap pihak yang bertanggung jawab, maka kasus ini akan kami bawa ke jalur hukum pidana,” tegasnya.
Ia menambahkan, laporan ke aparat penegak hukum akan dilayangkan oleh kelompok warga dan masyarakat sipil bila terbukti ada unsur pidana dan pembiaran. “Ini bukan kasus kecil. Ini adalah skandal publik. Dan kalau pemerintah tidak mampu membersihkan sistemnya sendiri, maka rakyat akan mengambil alih dengan jalur hukum yang sah,” tegas Herman.
Lemahnya pengawasan teknis dari Dinas Pengairan dan dinas terkait juga menjadi sorotan. Herman menyebut praktik ini sebagai bukti bahwa pengawas hanya menjadi “stempel formalitas”, bukan pengawal mutu dan keselamatan warga.
“Ketika kontraktor bisa main mata, pengawas tutup mata, dan pemerintah daerah membisu, maka itu bukan sekadar kegagalan administrasi. Itu pengabaian terhadap amanah konstitusi,” katanya.
Ia juga mendesak agar sistem pengadaan barang dan jasa direformasi total, termasuk pelibatan masyarakat sipil, digitalisasi sistem anggaran, dan audit terbuka untuk setiap proyek publik.
“Pondasi dari tanah liat adalah metafora dari birokrasi kita hari ini, rapuh, murah, dan mudah roboh. Banyuwangi butuh bangunan yang kuat, bukan hanya fisik, tapi juga moral pejabatnya,” pungkas Herman.