Opini – Jejakindonesia.id | Organisasi yang bernama Himpunan mahasiswa Islam (HMI) didirikan pada tanggal 5 Februari 1947 oleh Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat ini menjadi UII. Tiga hari yang lalu, HMI genap berusia 78 Tahun, sebagaimana telah menjadi tradisi di masyarakat seluruh dunia, ketika berbicara tentang hari kelahiran, baik itu di tataran personal atau komunitas sosial. Perihal ini sangat identik sekali dengan perayaan-perayaan simbolis maupun ceremonial untuk merefleksikan sesuatu ingatan pada hal yang telah berlalu guna memunculkan harapan dan doa, ide dan gagasan ataupun hanya sekedar perayaan simbolik tanpa memuat substansi didalamnya.
Layaknya sebuah rumah, kader-kader HMI yang beranggotakan para pemuda islam yang terdidik (mahasiswa muslim) dituntut untuk memberikan gagasan serta kontribusi sumbangsih terbaiknya dalam membangun bangsa, negara dan agama. Para mahasiswa muslim dengan berbagai aliran berkumpul bertukar pikiran membangun jejaring dan sistem pembelajaran untuk mengembangkan kapasitas diri, dan ruang aktualisasi untuk umat dan bangsa. Mereka menyakini bahwa negara bangsa serta agama, memiliki persinggungan yang erat, harmonisasi dari ketiganya akan membentuk tatanan sosial yang maju, sejahtera, makmur dan keberkahan selalu terlimpahkan, oleh sebab itu misi keumatan dan kebangsaan HMI di rumuskan dengan “Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi Yang Bernafaskan Islam Dan Bertanggung Jawab Atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur Yang Di Ridhoi Allah SWT”.
Didirikan dua tahun paska Indonesia merdeka, kehadiran HMI adalah sebagai jawaban atas kegelisahan dalam internal umat Islam. Hadirnya HMI juga sebagai motor penggerak bagi kemajuan pendidikan, sehingga ketertinggalan umat Islam di bidang pendidikan dapat segera teratasi, dan bangsa Indonesia mampu keluar dari berbagai persoalan yang terjadi, baik persoalan agama, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Selain itu, HMI berperan sebagai organisasi pejuang, dan membawa sebuah misi dakwah yang diharapkan mampu mengubah, merombak, memperbaiki, memperbaharui, dan menyempurnakan suatu tatanan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan masa kini, sehingga tercipta suatu tatanan baru yang berbeda dengan masa sebelumnya. Untuk itu dalam azas organisasi ini, Islam menjadi landasan utama semangat juang, karena Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya.
Dengan usia yang tak lagi muda, Himpunan Mahasiswa Islam telah banyak berkiprah dan berdedikasi pengabdiannya untuk bangsa Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung seiring berjalannya waktu, periode pemerintahan, dan masa perjuangan. Seperti yang sudah termaktub didalam sejarah perjuangan HMI yang mana di masa lalunya, hmi pernah ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (1945), perlawanan dalam agresi militer belanda (1947-1949), meredam pemberontakan PKI Muso di madium dan solo (1948), pembubaran serta pembersihan PKI (1966). sampai pada puncaknya yang ikut andil menjatuhkan otoritarianisme orde baru (1998) dan masih banyak lagi. Bahkan Jenderal Besar Soedirman pernah mengatakan jika HMI bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam tetapi Harapan Masyarakat Indonesia.
Pasca tahun 1998 atau runtuhnya rezim presiden Soeharto (Orde Baru), kondisi negara ini mulai cerah. Reformasi Birokrasi perubahan konstitusi dilakukan untuk mewujudkan sebuah negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Tidak ada lagi praktik kekuasaan absolut, sistem pemerintahan menjadi demokratis dengan prinsip cheks and balances (seimbang dan saling mengawasi), Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dilindungi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Di era demokrasi ini, rakyat benar-benar memiliki kedaulatan memilih pelayan rakyat (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota) dan wakil rakyat di lembaga legislatif. Kedaulatan itu diwujudkan dalam sebuah bentuk pemilihan umum secara langsung. Selain itu rakyat pun memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi dan kritikan, karena yang berdaulatan dalam negara ini adalah rakyat, bukan pejabat.
Dalam kondisi ini, Sang Hijau Hitam pun menikmatinya, HMI mengisinya dengan bebas berekspresi dan beraspirasi kepada pemerintah. Tidak ada lagi yang ditakuti oleh kader-kader HMI dalam menyampaikan aspirasi rakyat, sehingga tidak sedikit kita lihat HMI ikut andil memperjuangkan nasib rakyat dari tirani kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi hingga di daerah. Namun realita hari ini, marwah HMI sebagai organisasi perjuangan tidaklah terlihat. Seharusnya HMI bisa melakukan konsolidasi gerakan, serta memberikan solusi yang nyata bagi rakyat, sehingga peran HMI sebagai organisasi perjuangan yang tertuang di Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Pasal 08 berjalan semestinya dan sesuai kenyataannya.
Hal ini disebabkan karena, Pertama, HMI terlalu sibuk dengan persoalan Internalnya. Kedua, HMI selalu absen dalam setiap momentum. Ketiga, HMI saat ini, hanya sibuk pada perebutan kekuasaan di Internal, hal ini kiranya terjadi ditingkat, Pengurus Besar (PB), Badan Koordinasi (BADKO), Cabang sampai Komisariat. akibatnya, terjadi kejumudan dalam tubuh HMI. Padahal, tujuan kita sebagai kader HMI bukanlah, merebutkan kekuasaan di Internal. Akan tetapi mewujudkan tujuan HMI, dengan cara mengejawantahkan, lima kualitas Insan cita, Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi, Bernafaskan Islam, dan Bertanggung Jawab. Poin inilah seharusnya yang kita perjuangkan dimana pun posisi kita (Kader) mengabdi. Disaat kondisi bangsa ini rapuh, HMI tidak segera bangkit, hal inilah yang menjadikan HMI sebagai organisasi Perjuangan, kehilangan marwahnya sebagai Organisasi perjuangan.
Akibatnya, hal ini berdampak pada minat mahasiswa baru untuk mengikuti pengkaderan telah menurun setiap tahun. Selain itu, pola yang digunakan masih sangat klasik. Ketika, akan menggelar basic training (LK-I), maka pamflet-pamflet yang berisi gambar-gambar alumni HMI yang telah masuk dalam tubuh birokrasi dijadikan pemancing minat mahasiswa bergabung ke dalam organisasi. Dengan memanfaatkan citra alumni-alumni yang sudah tenar, kaya, dan berbantal kuasa. Cara ini seakan-akan menunjukkan jika tidak ada yang bisa dilakukan HMI untuk menarik minat selain iming-iming kekuasaan. Tak heran kalau dalam benak calon-calon kader, yang terlintas adalah HMI itu mampu menjamin masa depan. Terutama dapat membentuk mereka kelak menjadi tokoh. Kini perekrutan kader telah memprioritaskan bagaimana menambah kuantitas, bukan untuk menambah kualitas, terkesan organisasi ini telah menjadi ormas.
Oleh karena itu, penulis berharap melalui momentum milad HMI yang ke 78 tahun ini, harus digunakan untuk mengembalikan HMI kepada khitahnya. Jangan hanya bereforia dan terjebak pada romantisme kejayaan masa lalu atau sejarah saja. Sistem pengkaderan maupun wacana kedepan dan tradisi pemikiran-pemikiran HMI kembali di hidupkan, sehingga kader-kader HMI menjadi pioner untuk memberikan pengaruh yang kuat dalam wacana kebangsaan, keumatan, dan terutama dinamika kemahasiswaan serta mengawal isu-isu yang terjadi negara ini.
Penulis: Bondan Madani (Si Raja Demo) Ketua Umum Lembaga Diskusi Kajian Sosial (LDKS) Pilar Jaringan Aspirasi Rakyat (PIJAR).
(BDN)