PASURUAN | jejakindonesia.id – Malam 1 Suro atau malam pergantian tahun baru Islam, menurut penanggalan Jawa, dipandang sebagai malam yang penuh makna dan kesakralan. Bagi masyarakat Jawa, malam ini bukan sekadar pergantian waktu, tetapi menjadi momentum spiritual yang sarat tradisi, perenungan, dan doa.
Dalam kalender Hijriah, malam 1 Suro bertepatan dengan malam 1 Muharram. Namun dalam budaya Jawa yang kental dengan nilai-nilai kejawen, malam ini diyakini sebagai waktu yang ‘wingit’ atau penuh energi gaib. Karena itu, banyak masyarakat memilih untuk mengisi malam ini dengan tirakat, doa, atau kegiatan spiritual lainnya.
Di sejumlah daerah, termasuk di wilayah Jawa Timur seperti Pasuruan dan sekitarnya, masyarakat masih melestarikan tradisi seperti kungkum (berendam di sungai), doa bersama di makam leluhur, hingga ritual tapa bisu di tempat-tempat yang dianggap keramat.
“Malam 1 Suro bukan untuk hura-hura. Ini waktu untuk menyepi, memohon keselamatan dan petunjuk kepada Yang Maha Kuasa,” ujar Gus Nidhom
Meskipun di era modern, sebagian generasi muda mulai menjauh dari tradisi ini, namun bagi sebagian besar warga yang masih menjunjung adat, Malam 1 Suro tetap menjadi momentum penting untuk introspeksi diri dan memperkuat koneksi spiritual dengan Tuhan dan leluhur.
Sebagai warisan budaya sekaligus bagian dari kekayaan spiritual Nusantara, tradisi Malam Satu Suro terus dijaga dan dilestarikan lintas generasi.
(RED)