BANYUWANGI | jejakindonesia.id — Pondok Pesantren Adz Dzikra Banyuwangi kembali menegaskan perannya sebagai pusat inovasi keilmuan Islam di Jawa Timur melalui “Metode Miftahul Ahwa”, sebuah sistem pembelajaran ilmu Nahwu dan Shorof yang dirancang untuk mempercepat kemampuan membaca kitab kuning secara mandiri dan logis.
Metode ini digagas langsung oleh Pengasuh Ponpes Adz Dzikra, KH. Ir. Achmad Wahyudi, SH., MH., sebagai respons terhadap kebutuhan zaman yang menuntut efektivitas dalam proses penguasaan tata bahasa Arab klasik. Dalam pelaksanaan metode ini, hafalan tidak menjadi tumpuan utama, melainkan dipadukan dengan pendekatan nalar dan logika, sehingga santri tidak hanya mengingat, tetapi juga memahami secara mendalam.
“Kalau hanya menghafal, itu mudah lupa. Tapi kalau kita ajarkan santri berpikir, memahami dengan logika, insyaallah mereka akan menguasai dengan lebih cepat dan tahan lama,” terang KH. Achmad Wahyudi, Rabu (17/06/2025) sore.
Metode Miftahul Ahwa kini menjadi magnet bagi para santri dan pengajar dari berbagai daerah. Wakil Ketua Yayasan Ponpes Adz Dzikra, Gus Muhammad Iqbal Alfanani, menyebut bahwa metode ini telah teruji meningkatkan kemampuan membaca dan memahami kitab turats dengan cepat, baik untuk santri pemula maupun tingkat lanjut.
“Sistematika pembelajarannya ringkas, praktis, dan aplikatif. Itu sebabnya banyak pondok dari luar daerah yang mengirim santrinya ke sini,” ujar Gus Iqbal.
Tercatat, sejak 2022 hingga 2025, jumlah peserta dari luar daerah meningkat signifikan. Mulai dari 5 santri asal Blitar di tahun 2022, menjadi 10 santri pada 2023, dan 20 santri dari Ponpes Darul Istiqomah Lombok pada 2024. Tahun ini, sebanyak 20 ustadz dan ustadzah dari Blitar mengikuti pelatihan intensif selama 20 hari di Ponpes Adz Dzikra.
Santri asal Ponpes Qur’ani Blitar, Adin, mengaku terkesan dengan metode dan pendekatan pembelajaran di Ponpes Adz Dzikra. Menurutnya, selain sistem pengajarannya yang intensif dan logis, relasi antara kiai dan santri di sini juga sangat terbuka.
“Di sini kami langsung belajar dari Abi Wahyudi. Beliau dekat dengan santri, tidak ada sekat. Kami bebas bertanya kapan saja,” tutur Adin, yang kini memasuki hari ketiga dari total 20 hari pelatihan.
Adin juga mencatat bahwa metode ini menguji ketekunan, dengan durasi belajar mencapai 10 jam per hari. “Kalau niat belajar, jangan buang waktu. Fokus, biar cepat lancar dan paham,” imbuhnya.
Senada dengan Adin, santriwati bernama Mega menyebut suasana pembelajaran di Ponpes Adz Dzikra jauh lebih menyenangkan dibanding tempat asalnya. Ia menilai materi disampaikan lebih rinci, dengan lingkungan belajar yang suportif dan ramah.
“Materi Nahwu dan Shorof-nya lebih detail. Teman-teman di sini ramah, sambutan dari santri lokal juga hangat,” ungkap Mega.
KH. Achmad Wahyudi menegaskan, bahwa program pelatihan ini bukan sekadar kegiatan pertukaran santri, melainkan bagian dari program kerja sama lintas pesantren dan dukungan dari pemerintah daerah seperti Kabupaten Blitar.
“Santri yang datang ke sini adalah murid dari santri saya terdahulu. Mereka membawa semangat baru. Kami ingin metode ini menjadi solusi nyata bagi pesantren-pesantren yang kesulitan mencetak santri ahli kitab dalam waktu singkat,” tutur Abi Wahyudi.
Ia juga menyebut bahwa santri yang mengikuti program ini tidak hanya berasal dari Jawa Timur, tetapi juga dari Lombok, NTB, bahkan luar Jawa. Beberapa santri sebelumnya menyelesaikan pelatihan dalam waktu 3 hingga 6 bulan, tergantung kesungguhan masing-masing.
Melalui Metode Miftahul Ahwa, Ponpes Adz Dzikra berupaya menjawab tantangan zaman dalam menjaga tradisi literasi kitab kuning. Pendekatan yang menggabungkan logika, praktik, dan kedekatan emosional antara guru dan murid menjadi ciri khas dari metode ini.
Kegiatan pendukung seperti seminar, bedah buku, dan diskusi publik rutin digelar untuk memperluas pemahaman dan memperkenalkan metode ini ke khalayak luas.
Ponpes Adz Dzikra optimis, bahwa ke depan Metode Miftahul Ahwa akan menjadi model pembelajaran ilmu yang adaptif, kontekstual, dan relevan di berbagai pesantren di Indonesia, serta menjadi warisan penting bagi generasi santri di masa depan. (rag)