jejakindonesia.id |Pemerintah kembali menunjukkan ambisinya membangun ekonomi dari pinggiran dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025. Targetnya bukan main: membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh desa dan kelurahan. Gagasan ini sejalan dengan semangat penguatan ekonomi kerakyatan dan kemandirian desa menuju visi Indonesia Emas 2045.
Namun di balik semangat besar tersebut, masih ada persoalan mendasar dari sisi hukum, yang bila tidak dikritisi sejak awal, berpotensi menjadikan program ini mandek di tengah jalan atau bahkan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
A. Lemahnya Daya Ikat Inpres Secara Hukum
Perlu dipahami, Inpres bukan peraturan perundang-undangan yang memiliki daya ikat terhadap masyarakat umum. Ia hanya mengikat internal pemerintahan, yakni para menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan pejabat administratif lainnya. Maka, ketika Inpres ini mendorong pembentukan koperasi oleh masyarakat desa, timbul pertanyaan: di mana payung hukumnya bagi masyarakat?
Tanpa penguatan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau regulasi teknis yang bisa dijadikan rujukan hukum oleh masyarakat dan perangkat desa, Inpres ini hanya akan menjadi arahan normatif yang sulit dijalankan secara efektif di lapangan.
B. Risiko Tumpang Tindih dengan BUMDes
Sampai saat ini, desa telah memiliki alat kelola ekonomi berupa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang eksistensinya diatur secara tegas dalam Undang-Undang Desa. Ketika koperasi diperkenalkan dengan struktur layanan serupa—sembako, simpan pinjam, logistik, hingga klinik—apa yang membedakannya dari BUMDes?
Tanpa kejelasan batas fungsi, kebingungan hukum dan konflik kelembagaan bisa muncul di tingkat desa. Bukannya memperkuat ekonomi desa, bisa jadi koperasi dan BUMDes justru bersaing dalam satu arena yang sama tanpa koordinasi.
C. Penggunaan Dana Publik Berisiko Tinggi
Inpres 9/2025 juga memerintahkan pengalokasian dana dari APBN, APBD, Dana Desa untuk mendukung pendirian koperasi. Sayangnya, mekanisme akuntabilitasnya tidak dijelaskan secara rinci. Padahal, kepala desa dan perangkatnya memiliki tanggung jawab hukum dalam pengelolaan keuangan negara.
Tanpa pedoman hukum yang jelas, mereka bisa saja tergelincir dalam maladministrasi atau dugaan tindak pidana korupsi, apalagi jika dana koperasi dikelola tanpa standar pengawasan dan pelaporan yang memadai.
D. Koperasi Harusnya Tumbuh, Bukan Dipaksakan
Secara filosofi, koperasi tumbuh dari inisiatif sukarela masyarakat, bukan dari atas ke bawah (top-down). Ketika negara memaksakan target kuantitatif (80.000 koperasi), muncul kekhawatiran bahwa koperasi hanya akan menjadi proyek administratif, tanpa nyawa partisipatif dari warga.
Koperasi bukanlah alat formalitas. Ia hanya akan hidup jika lahir dari kesadaran kolektif dan kebutuhan nyata warga desa, bukan karena dorongan birokrasi semata.
E. Rekomendasi: Koreksi Regulatif Segera
Inpres 9/2025 tetap harus diapresiasi sebagai langkah strategis dalam pembangunan ekonomi nasional berbasis desa. Namun, agar implementasinya tidak menabrak prinsip hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik, perlu:
1.Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri sebagai dasar hukum teknis pelaksanaan.
2.sinkronisasi kelembagaan antara koperasi dan BUMDes.
3.pedoman pengelolaan dan pertanggungjawaban dana publik yang jelas dan terukur.
4.pendidikan hukum dan pelatihan tata kelola koperasi untuk perangkat desa dan masyarakat.
Dengan demikian, koperasi Merah Putih tidak hanya menjadi alat pembangunan ekonomi, tetapi juga simbol keberhasilan negara dalam membangun dari bawah secara konstitusional, legal, dan berkelanjutan.
Oleh: Nurul Safii, S.H., M.H.
Advokat dan Praktisi Hukum Publik