Oleh: KETUA LPKSM PATROLI Nurul Safii, S.H., M.H., C.MSP
Advokat & Konsultan Hukum
Opini – Jejakindonesia.id | Fenomena maraknya debt collector yang memaksa debitur menandatangani BASTK (Berita Acara Serah Terima Kendaraan) menunjukkan adanya praktik yang secara hukum patut dipertanyakan. Dalam praktiknya, dokumen ini dijadikan alat legitimasi agar proses penarikan kendaraan tampak sah di mata hukum, padahal justru berpotensi mengaburkan hak-hak debitur.
Perlu ditegaskan bahwa BASTK merupakan dokumen yang memiliki konsekuensi hukum serius. Dengan menandatanganinya, debitur dianggap secara sukarela menyerahkan kendaraan yang menjadi objek jaminan. Sayangnya, tidak sedikit debitur yang tidak memahami makna dan akibat hukumnya—terutama bila penandatanganan dilakukan dalam situasi tertekan, intimidatif, atau tanpa penjelasan yang memadai.
Padahal, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, Mahkamah telah secara tegas menyatakan bahwa penarikan objek jaminan fidusia tidak dapat dilakukan secara sepihak. Jika debitur tidak menyerahkan secara sukarela, maka kreditur wajib menempuh jalur hukum melalui pengadilan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menekankan pentingnya mekanisme eksekusi sesuai asas due process of law.
Lebih jauh lagi, praktik penarikan paksa yang disertai tekanan, ancaman, atau kekerasan fisik bahkan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana perampasan atau pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 365 dan Pasal 368 KUHP.
Dengan demikian, penandatanganan BASTK yang dilakukan secara tidak bebas dan tanpa dasar hukum yang jelas merupakan bentuk pelanggaran hukum yang serius. Masyarakat berhak menolak menandatangani BASTK apabila dilakukan di luar putusan pengadilan, dan berhak memperoleh perlindungan hukum atas setiap bentuk pemaksaan atau ancaman.
Sudah waktunya aparat penegak hukum, lembaga pengawas seperti OJK, serta perusahaan pembiayaan lebih bertanggung jawab dalam memastikan praktik penarikan kendaraan sesuai dengan hukum yang berlaku. Jangan biarkan hukum dipermainkan dan rakyat kecil menjadi korban mekanisme yang manipulatif dan tidak transparan.
Hukum harus hadir sebagai pelindung, bukan sebagai alat pembenaran praktik ilegal yang menindas.