Oleh: Nurul Safii, S.H., M.H., C.MSP Advokat & Pemerhati Hukum Transportasi Laut
Opini Hukum – Jejakindonesia.id | Kecelakaan laut yang menimpa KMP Tunu Pratama Jaya di wilayah perairan Banyuwangi bukan sekadar musibah alam biasa. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang mencerminkan kemungkinan kelalaian struktural dalam sistem keselamatan pelayaran nasional. Berdasarkan keterangan beberapa penumpang yang selamat, muncul gambaran awal tentang situasi darurat yang semrawut dan minim protokol keselamatan.
Di antaranya, terdapat laporan bahwa mesin kapal mati mendadak saat pelayaran berlangsung, kapal tiba-tiba miring tanpa adanya bunyi alarm peringatan, serta tidak ada instruksi evakuasi atau koordinasi yang jelas dari awak kapal. Beberapa penumpang bahkan menyebutkan bahwa mereka melompat ke laut tanpa pelampung karena panik dan tidak mengetahui prosedur penyelamatan.
Pernyataan ini, meskipun masih menunggu verifikasi resmi dari pihak yang berwenang seperti Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), menunjukkan indikasi awal bahwa kapal kemungkinan beroperasi dalam kondisi tidak laik laut. Hal ini dapat mencakup aspek teknis seperti mesin, sistem kemudi, dan perlengkapan keselamatan, maupun aspek administratif seperti perizinan pelayaran, sertifikat kelaikan, serta penerapan prosedur tanggap darurat (emergency response).
Informasi bahwa kapten kapal belum ditemukan dan diduga ikut tenggelam menambah kompleksitas tanggung jawab hukum dalam peristiwa ini. Jika benar tidak ada penanggung jawab komando saat kapal mengalami krisis, maka dapat muncul pertanyaan mendasar tentang standar pelatihan awak, struktur komando darurat, dan pengawasan operasional kapal.
Apabila hasil penyelidikan KNKT atau otoritas pelabuhan kelak menyimpulkan bahwa kapal tetap diberangkatkan dalam kondisi yang tidak memenuhi standar keselamatan, maka peristiwa ini bukanlah insiden biasa. Ia akan mencerminkan rangkaian kelalaian sistemik—bukan hanya pada level operator kapal, tetapi juga pada pihak-pihak yang berkewajiban melakukan pengawasan dan verifikasi, termasuk lembaga inspeksi dan otoritas pelabuhan.
Dari perspektif hukum, kondisi tersebut dapat mengarah pada pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administratif. Pasal 117 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 jo pasal 302 dan pasal 303 pada UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, serta peraturan turunannya, mewajibkan pemilik dan operator kapal untuk menjamin kelaikan kapal dan keselamatan penumpang. Jika unsur kelalaian terbukti, maka dapat dikenakan sanksi pidana dan gugatan perdata dari korban atau keluarga korban.
Tragedi ini hendaknya menjadi momentum perbaikan menyeluruh dalam sistem pelayaran nasional, terutama dalam penegakan standar keselamatan, pemeriksaan kelaikan, serta pengawasan keberangkatan kapal oleh syahbandar dan instansi teknis. Keselamatan pelayaran bukan sekadar soal teknis, tetapi merupakan tanggung jawab hukum dan moral yang menyangkut hak hidup seluruh penumpang. (red)