Oleh:
Nurul Safii, S.H., M.H., C.MSP
Kantor Hukum Nurul Safii & Partners
1.Pendahuluan
Perairan Muncar di Kabupaten Banyuwangi kembali menjadi sorotan setelah peristiwa tenggelamnya kapal KM Sumber Wangi, sebuah kapal nelayan yang diduga mengalami kerusakan saat melaut. Peristiwa ini bukan hanya menyisakan luka kemanusiaan, namun juga memunculkan pertanyaan tentang sistem keselamatan pelayaran dan efektivitas penegakan hukum di laut.
Sebagai garda terdepan dalam pengamanan dan penegakan hukum di wilayah perairan, Kepolisian Perairan dan Udara (POLAIRUD) memiliki mandat strategis. Tragedi ini menjadi momentum untuk meninjau secara kritis peran dan tanggung jawab POLAIRUD dalam mengantisipasi, menangani, serta menyelidiki insiden laut yang berpotensi menimbulkan korban jiwa.
2.Dasar Hukum Kewenangan POLAIRUD
POLAIRUD adalah satuan khusus Polri yang berwenang melaksanakan tugas-tugas kepolisian di wilayah perairan dan udara, termasuk:
– Penegakan hukum terhadap pelanggaran di laut (Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian);
– Pengawasan dan patroli laut untuk menjamin keamanan, keselamatan, serta ketertiban di wilayah perairan;
– Mendukung operasi SAR, serta melakukan penyelidikan dan penyidikan awal atas kecelakaan laut.
Selain itu, dalam konteks pelayaran dan kelautan, terdapat pula UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU No. 11 Tahun 2020 (Omnibus Law) yang memperkuat keterlibatan POLAIRUD dalam pengawasan kapal dan perlindungan keselamatan pelayaran.
3.Penanganan Awal dan Penyelidikan: Sejauh Mana POLAIRUD Bertindak?
Dalam peristiwa KM Sumber Wangi, yang menjadi sorotan publik bukan hanya proses evakuasi, tetapi minimnya pencegahan dan pengawasan awal. Pertanyaan yang perlu diajukan:
– Apakah kapal telah memiliki dokumen kelayakan laut dan izin berlayar?
– Apakah muatan kapal sesuai kapasitas teknis?
– Bagaimana kesiapan alat keselamatan (life jacket, alat komunikasi)?
– Apakah kondisi cuaca telah diperhitungkan sebelum kapal diberangkatkan?
Jika ditemukan adanya kelalaian, baik dari pihak nahkoda, pemilik kapal, maupun otoritas pelabuhan, maka POLAIRUD wajib melakukan penyelidikan menyeluruh dan menindak secara hukum sesuai ketentuan pidana, seperti:
– Pasal 359 KUHP: kelalaian yang menyebabkan kematian;
– Pasal 302–323 UU Pelayaran: pelanggaran terhadap keselamatan dan tata kelola pelayaran.
4.Kritik terhadap Pola Penegakan Hukum di Laut
Walaupun secara yuridis POLAIRUD telah memiliki kewenangan yang tegas dalam penegakan hukum, implementasinya masih dinilai belum optimal berdasarkan berbagai analisis, antara lain:
– Rendahnya pengawasan rutin terhadap kapal-kapal kecil atau tradisional;
– Koordinasi yang lemah antara POLAIRUD, Syahbandar, dan Dinas Perhubungan Laut;
– Kurangnya penyuluhan hukum dan keselamatan laut kepada nelayan;
– Lemahnya deteksi dini atas kapal tak layak laut yang masih diizinkan beroperasi.
Akibatnya, penegakan hukum bersifat reaktif (pasca-kejadian), bukan preventif. Hal ini harus dikritisi sebagai kegagalan struktural, bukan sekadar kelalaian oknum.
5.Rekomendasi dan Penutup
Tenggelamnya KM Sumber Wangi seharusnya menjadi pintu masuk reformasi pengawasan laut, khususnya:
– POLAIRUD perlu lebih aktif dalam patroli perairan dan inspeksi kelayakan kapal nelayan;
– Perlu dibentuk mekanisme pelaporan dini (early warning system) antara nelayan, syahbandar, dan POLAIRUD;
– Meningkatkan kapasitas penyidikan terhadap kasus kecelakaan laut yang mengandung unsur kelalaian fatal;
– Melakukan edukasi hukum dan keselamatan laut secara berkelanjutan di wilayah pesisir.
Hukum harus hadir tidak hanya saat korban jatuh, tapi sejak risiko mulai tampak. Karena bagi masyarakat pesisir, laut bukan sekadar ruang hidup, tetapi ruang risiko—yang harus dijaga oleh negara melalui aparat hukumnya. (red)