Oleh: Nurul Safii, S.H., M.H., C.MSP
Advokat dan Konsultan Hukum Maritim
Opini Hukum – Jejakindonesia.id |
I. Pendahuluan : Tragedi tenggelamnya KM Sumberwangi di perairan Muncar, Banyuwangi, menimbulkan keprihatinan sekaligus pertanyaan hukum yang mendasar: siapa yang bertanggung jawab atas musibah tersebut? Selain pemilik kapal dan nakhoda, Syahbandar sebagai pejabat otoritas pelabuhan juga memegang peranan penting yang tidak boleh diabaikan dalam kajian tanggung jawab hukum.
II. Peran dan Kewenangan Syahbandar dalam Sistem Pelayaran Indonesia
Dalam sistem hukum pelayaran Indonesia, Syahbandar adalah pejabat tertinggi di pelabuhan yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab atas keselamatan dan kelayakan pelayaran. Berdasarkan Pasal 207 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, tugas utama Syahbandar adalah:
“Melaksanakan pengawasan terhadap keselamatan dan keamanan pelayaran, termasuk pemberian Surat Persetujuan Berlayar (SPB).”
Pemberian SPB hanya diperbolehkan apabila kapal telah memenuhi persyaratan berikut:
Kelaiklautan kapal secara teknis
Kelengkapan dokumen kapal dan awak kapal
Kesiapan alat keselamatan dan komunikasi
Dengan demikian, kapal tidak boleh berlayar tanpa dinyatakan laik laut oleh Syahbandar.
III. Kondisi Syahbandar Dapat Dimintai Tanggung Jawab
Syahbandar dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat kelalaian dalam menjalankan fungsi pengawasan, misalnya kapal yang berlayar tidak laik laut, tidak dilengkapi alat keselamatan memadai, atau mengabaikan peringatan cuaca buruk. Dalam konteks tersebut, SPB yang dikeluarkan menjadi cacat hukum dan Syahbandar dapat bertanggung jawab secara:
Administratif, Penjatuhan sanksi disiplin oleh Kementerian Perhubungan, Pencopotan jabatan atau mutasi apabila terbukti lalai dalam pengawasan.
Pidana Bila kelalaian terbukti menyebabkan kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa (Pasal 359 KUHP).
Jika ditemukan unsur kolusi atau gratifikasi dalam penerbitan SPB, dapat dikenakan sanksi berdasarkan UU Tipikor
Perdata : Negara sebagai atasan langsung Syahbandar dapat digugat secara perdata atas perbuatan melawan hukum oleh pejabat negara (onrechtmatige overheidsdaad), \
IV. Praktik dan Celah Pengawasan yang Perlu Diperhatikan
Dalam praktik, banyak kapal nelayan yang tetap berangkat tanpa SPB resmi atau dengan dokumen seadanya. Syahbandar kerap menoleransi hal ini dengan alasan kebutuhan nelayan atau terbatasnya pengawasan terhadap kapal-kapal kecil. Namun, pembiaran semacam ini bertentangan dengan prinsip hukum dan keselamatan, karena berisiko mengancam nyawa manusia. Pembiaran sistemik tersebut menjadikan Syahbandar sebagai bagian dari mata rantai kelalaian struktural yang berkontribusi pada terjadinya kecelakaan laut.
V. Rekomendasi
Dalam konteks kasus tenggelamnya KM Sumberwangi, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap peran dan kemungkinan kelalaian Syahbandar. Beberapa langkah yang sebaiknya dilakukan antara lain:
Pemeriksaan internal oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan.
Pemanggilan dan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum apabila terdapat indikasi pelanggaran pidana.
Audit menyeluruh terhadap proses penerbitan SPB di pelabuhan Muncar dan pelabuhan perikanan lainnya.
VI. Penutup
Keselamatan pelayaran bukan hanya urusan teknis pemilik kapal dan nakhoda, melainkan sebuah sistem pengawasan yang menyeluruh. Syahbandar berada di garda terdepan dalam sistem ini. Oleh karena itu, apabila terjadi musibah kapal tenggelam, Syahbandar tidak sekadar menjadi saksi, tetapi berpotensi menjadi pihak yang bertanggung jawab secara hukum.