Opini – Jejakindonesia.id | Gagalnya Pemerintah Daerah Banyuwangi dalam mengimplementasikan program – program strategis Presiden mencerminkan distorsi serius antara visi nasional dan pelaksanaan di tingkat lokal. Meskipun Presiden telah menggulirkan berbagai agenda pembangunan yang menuntut transformasi kepemimpinan daerah dengan menekankan integritas, kecepatan eksekusi, dan keberpihakan pada rakyat realitas di Banyuwangi menunjukkan ketidaksesuaian antara mandat pusat dan respons kepala daerah. Salah satu bentuk intervensi yang cukup menonjol adalah pembekalan di Akademi Militer (Akmil) yang dirancang untuk membentuk karakter kepemimpinan tegas, strategis, dan berwawasan kebangsaan. Namun, harapan ini kandas pada praktik birokrasi yang justru memperlihatkan orientasi kekuasaan yang sempit dan pragmatisme sektoral.
Alih-alih menunjukkan perubahan paradigma kepemimpinan sebagaimana dicita-citakan dalam pembekalan tersebut, kepala daerah Banyuwangi justru mempertontonkan gaya kepemimpinan yang banal dan bersifat instruksional belaka, menyerupai pola komando tentara bayaran atau secara sarkastis, ‘mental tempe’. analogi ini digunakan untuk menyoroti betapa sempit dan reaktifnya pola pikir yang ditampilkan, yakni sekadar menjaga rutinitas tanpa kapasitas membangun inovasi dan strategi pembangunan jangka panjang. Kepala daerah gagal menunjukkan keberanian dalam mengambil keputusan yang progresif dan berpihak pada rakyat; sebaliknya, keputusan-keputusan penting lebih sering dikendalikan oleh ketakutan pada tekanan politik lokal atau kepentingan elite sempit.
Kegagalan ini bukan sekadar soal personalitas, melainkan menandakan minimnya internalisasi nilai-nilai strategis yang mestinya tertanam dalam jiwa seorang pemimpin daerah. Akmil memberikan pembekalan berbasis disiplin, kepemimpinan visioner, dan tanggung jawab moral terhadap nasib rakyat; namun di tangan kepala daerah yang miskin orientasi transformatif, pembekalan ini justru berubah menjadi seremoni belaka. Orientasi simbolik lebih dikedepankan ketimbang substansi perubahan. Maka tidak heran jika pelaksanaan program-program nasional seperti transformasi pelayanan publik, reformasi birokrasi, hingga penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, hanya berjalan di permukaan tanpa sentuhan solutif yang berdampak sistemik.
Dalam konteks Banyuwangi, kegagalan ini diperparah oleh hilangnya semangat kolaboratif antara pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Kepala daerah tidak menjadikan rakyat sebagai mitra pembangunan, tetapi cenderung menempatkan mereka sebagai objek pasif dari kebijakan-kebijakan yang tidak komunikatif dan tidak partisipatif. Sikap paternalistik yang mengemuka menunjukkan bahwa kepemimpinan lokal terjebak dalam narasi kekuasaan top-down yang membunuh ruang dialog. Dalam kondisi seperti ini, program-program presiden yang memerlukan dukungan moral dan politik dari bawah justru mati di tangan pemimpin yang gagal memanifestasikan nilai-nilai dasar kepemimpinan transformatif.
Dengan demikian, pembekalan yang semestinya mengangkat kapasitas kepemimpinan kepala daerah justru memperlihatkan ironi institusional: dari Akmil yang memproduksi semangat nasionalisme dan integritas, menuju ruang-ruang kekuasaan lokal yang disesaki oleh mentalitas komando tanpa visi. Pemerintah pusat seharusnya mengevaluasi kembali mekanisme penguatan kapasitas kepemimpinan daerah agar tidak terjebak dalam simbolisme dan seremoni. Sebab, ketika kepala daerah hanya menjadi ‘penjaga gawang’ status quo tanpa keberanian mendobrak stagnasi birokrasi, maka rakyatlah yang menjadi korban dari kepemimpinan yang gagal memikul tanggung jawab sejarah dan mandat perubahan.
Red.