Opini – Jejakindonesia.id | Blambangan, sebuah wilayah yang menyimpan sejarah panjang dan keindahan alam luar biasa di ujung timur Pulau Jawa, kerap digambarkan sebagai “sepenggal tanah dari surga.” Namun dalam kenyataannya hari ini, citra surgawi itu justru direnggut secara sistematis oleh tangan-tangan kekuasaan yang tamak. Transformasi Banyuwangi menjadi “kota festival” dan destinasi wisata unggulan nasional, alih-alih murni demi kesejahteraan rakyat, tampak lebih menyerupai panggung manipulatif bagi para elit birokrat dan kroni-kroninya untuk memperkaya diri. Tanah, hutan, pantai, hingga kawasan adat tak luput dari eksploitasi demi investasi yang berkedok pembangunan. Ironisnya, rakyat kecil justru makin terpinggirkan, menjadi penonton bisu atas tanahnya sendiri yang dikomodifikasi secara brutal.
Dalam sektor pariwisata dan agraria, eksploitasi dilakukan secara sistematis. Kawasan wisata alam yang seharusnya dijaga sebagai warisan ekologis justru dijual kepada investor dengan harga murah, tanpa pertimbangan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat Osing. Proyek-proyek “pengembangan” kerap menggusur petani dan nelayan secara paksa, dengan ganti rugi yang tidak setimpal dan minim keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan. Tidak hanya itu, perampasan lahan melalui skema HGU dan penyulapannya menjadi lahan pertanian atau properti elite telah mengaburkan nilai-nilai lokal dan ekologis Blambangan. Dalam konteks ini, negara dan pemerintah daerah gagal menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan kapital.
Sektor budaya dan adat pun turut menjadi sasaran “penghisapan” yang membungkus kerakusan dengan jargon pelestarian. Festival budaya dan wisata etnik digelar rutin, namun hanya sebagai komoditas tontonan tanpa esensi. Budaya lokal diobral dalam format-format dangkal demi mendulang wisatawan, tanpa perlindungan terhadap nilai-nilai asli dan kesejahteraan pelaku adat. Sementara itu, tokoh adat yang vokal dalam memperjuangkan hak atas tanah dan identitas kultural sering kali dibungkam, baik melalui kriminalisasi maupun marginalisasi sosial. Artinya, warisan Blambangan bukan hanya dikorbankan demi ekonomi semu, tetapi juga dimanipulasi sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Korupsi dalam bentuk penyalahgunaan anggaran publik, suap perizinan, dan kongkalikong proyek infrastruktur menjadi wajah gelap lain dari kerakusan birokrat. Laporan audit BPK yang tak jarang mengungkap ketidakwajaran anggaran hanyalah secuil dari gunung es kebobrokan sistemik. Pembangunan yang dijanjikan sebagai “kebangkitan Blambangan” lebih banyak berujung pada proyek mercusuar yang menguntungkan segelintir elit, sementara rakyat harus bergelut dengan harga kebutuhan pokok yang naik dan lapangan kerja informal yang tidak layak. Transparansi dan akuntabilitas menjadi retorika kosong dalam praktik birokrasi yang membusuk oleh transaksi gelap dan mental rente.
Blambangan hari ini bukan hanya sedang dijarah, tetapi dikunyah hingga ampas-ampasnya oleh para pejabat serakah yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memonopoli surga dunia ini. Ketika pejabat sibuk membangun citra dan menumpuk kekayaan, rakyatnya menderita dalam diam. Yang tersisa dari Blambangan bukanlah kemuliaan masa lalu atau keindahan alamnya, melainkan kisah kelam tentang tanah yang diperjualbelikan, budaya yang dipalsukan, dan kekuasaan yang korup. Jika tak segera ada perubahan radikal dalam tata kelola pemerintahan, partisipasi publik, dan penegakan hukum, maka Blambangan akan menjadi catatan tragis tentang bagaimana surga bisa berubah menjadi ladang kerakusan yang menyisakan kehancuran.
Red.