Oleh:
Herman, M.Pd., M.Th., CBC
(Aktivis & Akademisi)
Opini – Jejakindonesia.id | Lambatnya laju investasi di Kabupaten Banyuwangi merupakan indikasi jelas dari kegagalan struktural dalam tata kelola pemerintahan daerah yang tidak responsif terhadap dinamika ekonomi makro maupun tuntutan investor. Alih-alih menunjukkan kesiapan sebagai daerah tujuan investasi, Banyuwangi terjebak dalam retorika pembangunan yang tidak diimbangi dengan langkah-langkah konkret dalam memperbaiki iklim usaha. Ketika daerah lain berlomba mempercepat perizinan, menyederhanakan regulasi, dan meningkatkan kapasitas SDM birokrasi, Banyuwangi justru memperlihatkan kelesuan birokratis, ketidakefisienan layanan publik, serta minimnya inovasi dalam menarik dan mempertahankan investor jangka panjang.
Permasalahan utama terletak pada sistem birokrasi yang masih sarat dengan proseduralisme usang dan mentalitas aparatur yang tidak pro-investasi. Banyak pelaku usaha mengeluhkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memproses izin, serta tidak adanya kepastian hukum dan jaminan kemudahan dalam pelaksanaan proyek. Ketiadaan satu pintu layanan investasi yang benar-benar efisien dan terpadu menambah keruwetan. Lebih parah, tidak sedikit pejabat teknis yang justru menjadikan perizinan sebagai ladang rente, mempersulit alur masuk modal dengan dalih formalitas yang tidak substantif. Hal ini mencerminkan belum adanya kesadaran kolektif di kalangan elite birokrasi untuk memperlakukan investor sebagai mitra strategis pembangunan.
Lambannya realisasi investasi juga mencerminkan absennya visi pembangunan ekonomi jangka panjang yang konsisten dan terukur. Pemerintah daerah terlalu sibuk dengan pencitraan wisata dan agenda seremonial tanpa memperkuat sektor-sektor produktif yang menopang ekonomi lokal seperti pertanian, industri pengolahan, dan logistik. Infrastruktur penunjang investasi pun tertinggal jauh dari kebutuhan—jalan rusak, ketersediaan lahan tidak jelas statusnya, serta konektivitas pelabuhan dan kawasan industri yang tidak dikembangkan secara progresif. Ketika investasi besar memerlukan kepastian utilitas, efisiensi logistik, dan jaminan pasokan tenaga kerja terampil, Banyuwangi masih tertinggal dalam menyediakan ekosistem pendukung yang kompetitif.
Lebih lanjut, lemahnya kolaborasi antara pemerintah daerah dengan sektor swasta dan lembaga pendidikan menambah stagnasi ini. Tidak ada grand design pembangunan ekonomi daerah yang berbasis riset dan kebutuhan pasar global. Pemerintah daerah tampak berjalan tanpa arah, gagal memetakan potensi unggulan daerah menjadi komoditas investasi bernilai tinggi. Minimnya forum dialog strategis antara pelaku usaha, akademisi, dan regulator menjadi bukti bahwa Banyuwangi belum menjadikan investasi sebagai isu sentral dalam perencanaan pembangunannya. Ketika kebijakan dibuat tanpa mendengar pelaku sektor riil, maka yang terjadi adalah kebijakan elitis yang tidak menyentuh kebutuhan aktual dunia usaha.
Dengan demikian, lambatnya laju investasi di Banyuwangi bukan semata-mata karena faktor eksternal atau geografi, melainkan buah dari ketidakmampuan pemerintah daerah membangun sistem pemerintahan yang profesional, akuntabel, dan berorientasi pada hasil. Sudah saatnya pemerintah daerah berhenti menjadikan investasi sebagai jargon kosong dan mulai bertindak konkret: reformasi birokrasi secara radikal, penguatan infrastruktur ekonomi, penyediaan SDM kompeten, dan pembangunan sistem regulasi yang ramah investasi. Tanpa langkah drastis ini, Banyuwangi hanya akan menjadi penonton dalam peta pertumbuhan ekonomi regional, tertinggal dari daerah-daerah yang lebih progresif dan visioner.
(Red)