Oleh:
Herman, M.Pd., M.Th., CBC
(Aktivis & Akademisi)
Opini – Jejakindonesia.id | Ketimpangan pelayanan publik yang terjadi di Banyuwangi menjadi sorotan serius dalam konteks tata kelola pemerintahan yang seharusnya mengedepankan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat. Fenomena ketika masyarakat hendak menemui pejabat publik namun justru dihadapkan dengan pertanyaan birokratis seperti “sudah ada janji atau belum?” merupakan bentuk pengingkaran terhadap esensi pelayanan itu sendiri. Pejabat publik bukanlah sosok yang harus diperlakukan layaknya elite yang hanya bisa ditemui berdasarkan protokoler, melainkan pelayan rakyat yang wajib menyediakan waktu, ruang, dan sikap terbuka dalam menjalankan fungsinya. Ketika akses masyarakat dibatasi oleh tembok prosedural, maka pelayanan publik kehilangan jiwanya sebagai hak dasar warga negara.
Lebih jauh, budaya ketidakhadiran atau ketidaksiapan pejabat di kantor saat jam kerja menunjukkan degradasi etika profesi dan lemahnya komitmen terhadap sumpah jabatan yang diucapkan saat pelantikan. ASN (Aparatur Sipil Negara) yang telah mengikrarkan diri untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat semestinya memahami bahwa kehadiran mereka di kantor bukan hanya soal administrasi, tetapi cerminan dari kesungguhan menjalankan amanat rakyat. Ketidaksiapan ini tidak bisa ditoleransi sebagai kesalahan teknis belaka, melainkan bentuk kelalaian yang harus dikoreksi secara sistemik melalui pembenahan manajerial, pengawasan kinerja, dan peningkatan integritas birokrasi.
Dalam konteks Banyuwangi, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan mulai dari persoalan kesejahteraan rakyat, pelayanan kesehatan, infrastruktur desa, hingga pendidikan yang merata. Ketidak tuntasan ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena akan menciptakan jurang ketimpangan sosial yang lebih dalam. Pertanyaan fundamentalnya adalah: kepada siapa tanggung jawab ini harus diarahkan? Jawabannya jelas kepada para pemangku kebijakan dan pelaksana teknis di pemerintahan daerah yang telah diberi kepercayaan oleh negara dan rakyat. Ketika mereka gagal menjawab kebutuhan publik dengan kerja nyata, maka mereka sejatinya telah gagal menjalankan tugas konstitusionalnya.
Sudah saatnya pola pikir feodal dalam birokrasi dihapuskan. Pejabat bukanlah “tuan” yang harus dilayani, melainkan pelayan masyarakat yang harus siap sedia menjalankan tugasnya kapan pun dan di mana pun diperlukan. Sikap eksklusif dan elitis dari sebagian pejabat tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga menghambat laju pembangunan daerah. Perlu ada reformasi birokrasi yang tidak berhenti pada tataran struktural, melainkan juga menyentuh mentalitas dan budaya kerja ASN. Pemerintahan yang baik tidak diukur dari banyaknya pertemuan resmi, tetapi dari sejauh mana masyarakat merasa terlayani dengan adil, cepat, dan tanpa diskriminasi.
Narasi ini merupakan kritik keras yang ditujukan kepada seluruh jajaran birokrasi Banyuwangi agar tidak abai terhadap tanggung jawab publik. Ketika rakyat datang membawa suara, keluh kesah, dan harapan, mereka tidak boleh dihadang oleh sistem yang kaku dan sikap yang arogan. Mereka berhak mendapatkan pelayanan terbaik, karena kedaulatan tertinggi dalam demokrasi ada di tangan rakyat. Bila aparatur sipil dan pejabat publik tidak mampu menjalankan amanahnya, maka sudah sepatutnya mereka dievaluasi, dibina secara serius, bahkan diganti demi keberlangsungan pelayanan publik yang berkeadilan dan bermartabat.
(Red)