Jejakindonesia.id | OPINI HUKUM,
I. Pendahuluan
Dalam praktik penegakan hukum, sering timbul pertanyaan mengenai kemungkinan seorang advokat dimintai keterangan sebagai saksi, terutama dalam perkara yang berkaitan langsung dengan kliennya. Hal ini menimbulkan pertentangan antara kewajiban memberikan kesaksian dengan prinsip kerahasiaan profesi.
II. Ketentuan Hukum yang Relevan
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Pasal 19: “Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesi, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 170: “Seorang saksi dapat menolak memberikan keterangan apabila ada alasan yang sah menurut undang-undang.”
3. Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI)
Pasal 19 huruf c: “Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan sebagai saksi terhadap kliennya sendiri.”
III. Analisis Hukum
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa advokat memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga rahasia profesinya. Prinsip ini termasuk legal privilege, yaitu perlindungan hukum terhadap komunikasi rahasia antara advokat dan klien. Oleh karena itu, advokat tidak dapat dijadikan saksi dalam perkara yang menyangkut kliennya, karena berpotensi melanggar kewajiban etik dan hukum.
Namun demikian, apabila seorang advokat tidak memiliki hubungan profesional dengan pihak yang berperkara, dan keterangannya tidak berkaitan dengan rahasia jabatan, maka secara hukum ia dapat memberikan kesaksian sebagai warga negara biasa.
IV. Penutup
Dengan demikian, advokat pada dasarnya tidak dapat menjadi saksi dalam perkara kliennya sendiri karena terikat oleh prinsip kerahasiaan jabatan dan kode etik profesi. Pemaksaan untuk menjadi saksi dalam kondisi tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip due process of law dan hak atas bantuan hukum yang adil.
#NURUL SAFII., S.H., M.H., C. MSP