Jakarta | jejakindonesia.id – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP terbaru) tidak dihapuskan.
Selain itu, jaksa juga diwajibkan oleh KUHP Nasional untuk mengajukan tuntutan hukuman mati dengan disertai alternatif hukuman jenis lain, misalnya, hukuman seumur hidup, untuk dipertimbangkan majelis hakim.
Akan tetapi, kata Yusril Ihza Mahendra, ditempatkan sebagai sanksi pidana bersifat khusus dan dijatuhkan serta dilaksanakan secara sangat hati-hati.
“Bagaimanapun hakim dan Pemerintah merupakan manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan,” ujar Yusril ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Yusril menjelaskan bahwa pendekatan kehati-hatian tersebut berasal dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk berbagai kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.
Menurut dia, jika suatu kesalahan terjadi dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, konsekuensinya tidak dapat diperbaiki. Pasalnya, orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali sehingga kehati-hatian merupakan prinsip yang mutlak.
“Pemerintah dan DPR memang harus menyusun undang-undang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan Pasal 102 KUHP Nasional yang baru. Namun secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional,” kata Yusril
Maka dari itu, dalam KUHP terbaru, dia menyebutkan pidana mati tidak serta-merta dilaksanakan setelah putusan pengadilan, tetapi hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh Presiden.
Dengan demikian, lanjut dia, permohonan grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan, baik oleh terpidana, keluarga, maupun penasihat hukumnya, sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ia mengungkapkan bahwa Pasal 99 dan 100 UU No. 1/2023 tentang KUHP memberi ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.
“Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup,” ucap Yusril.