Banyuwangi – Jejakindonesia.id | Kontroversi film “Lemah Santet Banyuwangi” yang diproduksi sebuah PH (Production House) Jakarta, telah menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat Banyuwangi secara luas. Karena film tersebut berpotensi merusak citra Banyuwangi. Akhirnya Disbudpar bersama DKB, PARFI Banyuwangi, budayawan serta tokoh-tokoh lainnya bersepakat untuk memprotes keras dan secara tegas menolak adanya film tendensius yang hanya merusak marwahnya Banyuwangi.
Keputusan hasil mufakat itu dicetuskan dalam rapat gabungan bertempat di Lounge Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, (6/3/2025). Tentu saja terlebih dahulu mendengar masukan, saran serta kajian-kajian mendalam dari peserta rapat.
Ketua PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) Banyuwangi, Denny Sun’anudin diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya. Menurut Denny film Lemah Santet Banyuwangi bentuk penyalahgunaan dalam berkarya. Karena telah mengabaikan moral dan etika sebagai adab tertinggi manusia.
“Kerangka film Lemah Santet Banyuwangi sebagai contoh karya seni yang sangat menjijikkan. Karena kentara tendensius mengeksploitasi Banyuwangi untuk dijadikan objek bisnis di industri perfilman. Semata-mata demi meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan citra Banyuwangi. Dan ini tak boleh dibiarkan. Oleh karenanya kita harus tegas memprotes serta menindaklanjutinya,” ketus Denny seraya menahan geram.
Yang menjadi pemicu permasalahan krusial dalam film Lemah Santet Banyuwangi, ungkap Denny, adalah pihak pembuatnya dengan sengaja mencatut nama daerah Banyuwangi. Yakni dengan alasan mengadaptasi tragedi pembantaian dukun tahun 1998 di Banyuwangi yang menyimpan misteri. Karena faktanya justru dalam peristiwa tersebut banyak guru-guru ngaji yang menjadi korbannya.
“Dalam berkarya seni di ranah perfilman seharusnya menyuguhkan hiburan berkualitas dan pesan-pesan edukasi. Bukannya merusak citra budaya berbasis kearifan lokal yang dianut oleh anggota masyarakatnya. Karena secara terminologi, istilah Santet Banyuwangi merupakan penjelmaan mahabbah atau ilmu pengasihan yang mengajarkan cinta dan kasih sayang,” kata Denny menguraikan harfiahnya.
Sedangkan Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), Hasan Basri menandaskan, pihaknya mengaku keberatan dengan film berjudul Lemah Santet Banyuwangi. Karena menyangkut pautkan embel-embel nama Banyuwangi.
“Karena membawa-bawa nama Banyuwangi itulah kami merasa sangat keberatan. Maka kami menolaknya dengan tegas. Padahal di beberapa daerah ada juga istilah santet, tapi mengapa yang dipilih justru nama Banyuwangi. Hal ini jelas ada tujuan yang tidak baik yang sengaja disembunyikan,” ujar Hasan penuh keheranan.
Kepala Disbudpar Banyuwangi, Taufik Rohman yang sejak awal rapat gabungan telah mencatat berbagai saran, masukan dan pendapat pihak-pihak yang diundang. Akhirnya forum sepakat untuk memprotes dan menolak dengan cara kirim surat ke LSF (Lembaga Sensor Film) di Jakarta agar mencabut atau membatalkan ijin lulus sensor film Lemah Santet Banyuwangi.
“Sesuai hasil kesepakatan bersama tersebut, kami akan segera mengirim surat kepada LSF agar membatalkan dan atau mencabut ijin lulus sensor film Lemah Santet Banyuwangi. Adapun tembusannya akan kami disampaikan kepada pihak MD Pictures, Menteri Kominfo, Menteri Kebudayaan dan pihak-pihak terkait lainnya,” pungkasnya. (red)