BANYUWANGI, Jejakindonesia.id – Kasus dugaan penetapan tagihan susulan sepihak oleh PLN kembali mencuat. Kali ini menimpa Nawiyati (67), seorang janda miskin yang tinggal bersama cucu dan anaknya, yang juga seorang janda. PLN UP3 Banyuwangi dituding bertindak sewenang-wenang dengan menerbitkan tagihan susulan sebesar Rp 11.603.583,- tanpa dasar pemeriksaan yang jelas.
Kuasa hukum Nawiyati, Supriyadi, S.H., M.H., C.MD., C.MSP., dari MAHARDHIKA & PARTNERS, menyebutkan bahwa PLN melanggar prosedur hukum karena menerbitkan tagihan sebelum melakukan pemeriksaan lapangan over.
“Kami menemukan fakta bahwa PLN telah menetapkan denda sebelum adanya pemeriksaan resmi P2TL. Ini jelas merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan tindakan yang melawan hukum,” tegas Supriyadi, Senin (18/2).
Kasus ini bermula ketika PLN UP3 Banyuwangi menuduh Nawiyati melakukan pencurian listrik. Tuduhan ini didasarkan pada temuan kabel berlubang di dekat meteran listrik rumahnya. Namun, kuasa hukum Nawiyati membantah tuduhan tersebut karena PLN tidak memiliki bukti konkret yang membuktikan adanya pencurian daya listrik.
“Jika memang ada kebocoran daya akibat kabel berlubang, itu adalah tanggung jawab PLN, bukan pelanggan. PLN harusnya melakukan investigasi teknis, bukan asal tuduh dan kenakan denda,” ujar Supriyadi.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum menemukan kejanggalan prosedural dalam kasus ini. Berita Acara Pengamanan Barang Hasil Pemeriksaan (P2TL) baru diterbitkan pada 12 Februari 2025, sedangkan tagihan susulan telah muncul lebih dulu pada 31 Januari 2025.
Artinya, PLN sudah menuduh lebih dulu dan baru mencari pembenaran belakangan. Ini adalah bukti nyata bahwa PLN bertindak sewenang-wenang dan tidak mematuhi aturan hukum,” tambahnya.
Nawiyati, yang kini berusia lanjut, harus menanggung beban berat sebagai kepala keluarga bagi anak dan cucunya. Kondisinya yang sulit semakin diperparah dengan tagihan susulan dari PLN, yang berpotensi membuat listrik di rumahnya diputus kapan saja.
PLN tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga kehilangan nurani. Bagaimana mungkin seorang janda miskin yang hidup pas-pasan dikenakan denda belasan juta rupiah tanpa dasar yang jelas? Apakah PLN tidak punya kebijakan yang lebih manusiawi?” kata Supriyadi.
Menurutnya, tindakan PLN ini dapat dikategorikan sebagai pemaksaan dan pemerasan terhadap rakyat kecil. Jika PLN tetap memaksakan tagihan ini, maka Nawiyati terancam kehilangan akses listrik, yang merupakan hak dasar setiap warga negara.
Ini adalah bentuk penindasan terhadap masyarakat kecil. PLN seharusnya hadir untuk melayani, bukan malah menindas pelanggan dengan keputusan sepihak yang memberatkan,” tambahnya.
Dalam somasi yang dikirimkan ke PLN UP3 Banyuwangi, MAHARDHIKA & PARTNERS menegaskan bahwa jika dalam waktu tujuh hari kerja tagihan susulan tidak dibatalkan, maka langkah hukum akan ditempuh.
Langkah-langkah yang akan diambil meliputi:
1. Pengaduan ke Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi.
2. Laporan ke Kementerian ESDM dan YLKI untuk menuntut keadilan bagi pelanggan.
3. Gugatan perdata di Pengadilan Negeri untuk menuntut pembatalan tagihan dan ganti rugi atas pencemaran nama baik.
4. Gugatan ke PTUN untuk membatalkan keputusan administratif PLN yang cacat hukum.
5. Laporan pidana ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik terhadap klien.
Kami tidak main-main. Jika PLN tetap mengabaikan hak klien kami, kami akan membawa kasus ini ke jalur hukum hingga tuntas,” tegas Supriyadi.
Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa PLN masih belum sepenuhnya berpihak kepada pelanggan, terutama masyarakat kecil yang rentan terhadap kebijakan sepihak. Keputusan PLN dalam kasus Nawiyati bisa menjadi preseden buruk jika tidak segera diperbaiki.
Hingga berita ini diturunkan, PLN UP3 Banyuwangi belum memberikan tanggapan resmi terkait somasi yang dilayangkan oleh tim kuasa hukum Nawiyati. Akankah PLN tetap bersikeras mempertahankan kebijakan yang merugikan masyarakat, atau justru menunjukkan empati dengan mencabut tagihan yang tidak berdasar ini?
(Tim Redaksi)