Kendal – Jejakindonesia.id | Bertempat di Balai Desa Kartikajaya, Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal, Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) Kabupaten Kendal menggelar kegiatan Sosialisasi dan Rembug Hasil Pendokumentasian Wilayah Agraria dan Perlindungan Tenurial Perempuan Pesisir pada Selasa (11/2). Kegiatan dilaksanakan bersama dengan para pemangku kepentingan wilayah pesisir di Kabupaten Kendal, bekerjasama dengan Sajogyo Institute.
Dikutip dari laman Perempuan Pesisir, Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) adalah organisasi massa otonom yang didirikan pada 5 Juli 2022, berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak, keadilan, dan kesejahteraan perempuan nelayan serta keberlanjutan ruang hidup mereka. Dengan jaringan yang mencakup tingkat nasional hingga provinsi dan kabupaten, KPPI menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki harus bekerja sama secara setara dalam mengadvokasi kebijakan yang menjamin kesejahteraan perempuan pesisir dan keluarganya.
Sajogyo Institute adalah pusat studi dan dokumentasi agraria di Indonesia yang berfokus pada isu-isu agraria, pedesaan, dan sosial-ekologis1. Didirikan untuk menghormati kontribusi Prof. Dr. Ir. Sajogyo, yang dikenal sebagai “Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia”2, institut ini berperan aktif dalam penelitian, advokasi, dan pendidikan terkait pembangunan pertanian dan pedesaan.
Sajogyo Institute juga sering mengadakan diskusi publik, kelas pembelajaran, dan kolaborasi dengan berbagai organisasi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang isu-isu agraria dan pedesaan.
Sebagaimana disampaikan Ribut Juwarni, Ketua DPD KPPI Kabupaten Kendal, kegiatan kolaborasi ini merupakan bagian dari upaya perkuatan kapasitas masyarakat pesisir khususnya perempuan, agar semakin memperoleh haknya untuk dapat berperan serta secara aktif dalam upaya peningkatan kualitas hidup keluarga pada khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya.
Lebih lanjut Ribut menjelaskan bahwa Desa-desa pesisir mengalami dampak perubahan iklim, seperti naiknya permukaan air laut, banjir, erosi dan abrasi pantai, dan kerusakan ekosistem akibat badai dan gelombang tinggi. Tak hanya itu, sebagian desa pesisir memiliki banyak tantangan termasuk kerusakan ekosistem akibat proyek proyek pembangunan skala raksasa, pencemaran lingkungan, terbatasnya fasilitas kesehatan dan sanitasi.
Dalam situasi ini kelompok-kelompok rentan seperti orang miskin, perempuan, orang tua, anak-anak dan kelompok distabilitas berpotensi menjadi kelompok yang paling banyak dirugikan.
Situasi ini membutuhkan kepekaan warga dan pengurus desa untuk membuat didesa-desanya mampu menghadapi dampak perubahan iklim.
Dalam rangka mendukung desa-desa pesisir lebih tangguh menghadapi cuaca yang tidak menentu dan peduli kepada kelompok rentan, KPPI telah melakukan dokumentasi sumber-sumber agraria dan sistem tenurial perempuan pesisir sejak Agustus – Desember 2024.
Dalam proses pendokumentasian ini, KPPI menggunakan metode Riset Aksi Partisipatif yang berpihak pada perempuan, kelompok rentang dan keberlanjutan lingkungan (FPAR).
KPPI telah berhasil melakukan pendokumentasian wilayah kelola, tata kuasa, tata produksi dan tata konsumsi pada 31 desa pesisir.
Temuan-temuan dokumentasi diharapkan menjadi masukan penting bagi pemangku desa, pejabat Kabupaten dan juga nasional untuk memastikan pembangunan desa yang Tangguh iklim dan melindungi kelompok rentan.
Temuan-temuan dokumentasi ini mendorong KPPI untuk memikirkan dan mendefinisikan ulang profesi nelayan yang merupakan daur produksi yang dimulai dari kerja-kerja penyiapan, penangkapan, pengolahan dan penjualan hasil sumber daya pesisir dan kelautan yang melibatkan nelayan laki-laki dan perempuan yang bekerja sama dalam produksi perikanan.
Ini akan berimplikasi terhadap perlindungan ruang hidup nelayan laki-laki dan perempuan, yang tak hanya meliputi laut lepas tetapi juga pesisir, termasuk pemukiman, wilayah tangkap di pesisir, pengolahan hasil tangkap dan lingkungan sekitarnya.
Temuan ini mengajak kita memikirkan apa dan bagaimana wilayah-wilayah desa-desa pesisir dilindungi sumber-sumber agrarian dan sistem tenurialnya.
KPPI percaya hasil dokumentasi ini perlu dimusyawarahkan dengan membuka ruang-ruang diskusi dengan berbagai pihak untuk mendapatkan masukan dan jalan keluar bagi pemajuan desa pesisir. Oleh karenanya sepanjang Januari – Februari 2025, KPPI menyelenggarakan Sangkepan atau musyawarah pada 15 Kabupaten dan di 5 provinsi (Sumatra Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan NTB).
Mengangkat tema “Menguatkan Peran Perempuan Nelayan Mendukung Pemajuan Desa-desa Pesisir yang Tangguh Iklim dan Berpihak pada Kelompok Rentan dan Keberlanjutan Lingkungan” Sangkepan diharapkan menjadi ruang pertemuan, musyawarah atau rembuk yang diadakan KPPI bekerja sama dengan pemerintah lokal dan organisasi lainnya untuk berdiskusi dan menyepakati kerja-kerja bersama ke depan untuk pemajuan desa pesisir.
Kegiatan yang dilaksanakan selama sehari di Kendal ini diikuti oleh 25 orang peserta dan diharapkan dapat menjadi sarana sosialisasi temuan-temuan dokumentasi sumber-sumber agrarian dan tenurial pesisir , membangun jejaring KPPI dan membangun strategi/ kolaborasi bersama dalam melakukan advokasi dan pengorganisasian perempuan nelayan, serta Terjalinnya kerja sama antara KPPI dan pemerintah daerah dalam mendorong penguatan hak-hak perempuan nelayan terkait agraria dan sistem tenur perempuan nelayan.(M_Fia)