Jakarta, JejakIndonesia.id — Partai Golkar tengah menghadapi krisis setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI tentang pengesahan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) hasil Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang dipercepat pada Agustus lalu. Keputusan ini mengancam posisi Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Golkar yang ditetapkan dalam Munas tersebut.
Keputusan PTUN yang keluar pada Selasa (13/11/2024) ini merupakan respons atas gugatan yang diajukan oleh kader Golkar, M. Ilhamsyah Ainul Mattimu. Tim kuasa hukumnya berpendapat bahwa Munas seharusnya diadakan pada bulan Desember, sesuai aturan AD/ART lama, bukan Agustus.
Muhamad Kadafi, pengacara penggugat, menyatakan bahwa perubahan AD/ART yang disahkan Menkumham dilakukan terlalu cepat dan dianggap tidak sesuai aturan. “Munas XI yang mendasari perubahan AD/ART Golkar seharusnya dilaksanakan Desember. Proses ini terlalu cepat dan tidak sesuai aturan,” jelas Kadafi.
Pengamat politik Emrus Sihombing menilai keputusan PTUN ini memiliki konsekuensi besar, termasuk membatalkan kepemimpinan Bahlil sebagai Ketua Umum. “Golkar harus kembali ke AD/ART lama dan mengembalikan kepemimpinan ke struktur sebelumnya, yaitu Airlangga Hartarto,” ujar Emrus. Ia mengimbau agar Bahlil menerima keputusan ini dengan besar hati demi menjaga keutuhan Partai Golkar.
Emrus juga mengingatkan agar Golkar tidak terpecah seperti kasus sebelumnya antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. “Kepatuhan pada putusan PTUN adalah langkah terbaik untuk Golkar agar tidak mengulangi sejarah perpecahan,” tambahnya.
Saat ini, keputusan PTUN membawa Golkar kembali ke AD/ART yang lama dan memerlukan kepengurusan yang sesuai, sambil berharap seluruh kader dapat menjaga kedamaian dan stabilitas dalam partai. (Red)